![]() |
Sumber Gambar: freepik.com/photoangel |
Hari itu, langit Surabaya
agak mendung. Di halaman kampus UIN, mahasiswa berlalu-lalang membawa buku,
sebagian sibuk mencari tempat teduh. Firman, mahasiswa semester lima jurusan komunikasi, duduk di bangku
taman dekat fakultas sambil menatap layar laptopnya. Sebenarnya ia sudah selesai
mengerjakan tugas, tapi sengaja tetap di sana. Alasannya sederhana, ya dari
tempat itu, ia bisa melihat Nadia lewat setiap selesai kuliah.
Firman tahu, yang ia
rasakan ini aneh. Mereka bukan teman dekat, bahkan belum pernah ngobrol lebih
dari sekadar “assalamualaikum” dan “makasih”. Tapi entah kenapa, tiap kali melihat Nadia
tersenyum saat bicara dengan temannya, hatinya terasa hangat.
“Cinta dalam diam,”
gumamnya pelan sambil tersenyum miris.
Nadia sendiri nggak sadar
kalau ada seseorang yang memperhatikannya sejak lama. Ia dikenal sebagai
mahasiswi aktif, rajin ikut organisasi, dan sering bantu dosen dalam kegiatan
fakultas. Tapi di
balik kesibukannya, Nadia sebenarnya sering memperhatikan Firman juga; meski
diam-diam.
“Anak itu pendiam banget
ya,” kata Aisyah, sahabat sekamarnya.
Nadia hanya mengangguk
sambil tersenyum tipis. “Iya. Tapi kayaknya dia baik.”
“Waduh, jangan-jangan kamu
suka ya?” goda Aisyah sambil terkekeh.
“Enggak lah!” jawab Nadia
cepat. Tapi pipinya memerah.
Suatu hari, fakultas mereka
mengadakan acara “Seminar
Dakwah Digital”.
Firman kebetulan ditunjuk oleh dosen, Bu Hana, jadi MC. Sementara Nadia
ditugaskan sebagai panitia konsumsi.
Saat briefing
sebelum acara, Firman dan Nadia akhirnya harus bekerja dalam satu tim kecil.
“Assalamualaikum, Kak. Ini
daftar konsumsi yang udah fiks,
tolong dicek ya,” kata Nadia sambil menyerahkan kertas.
“Waalaikumsalam, makasih.
Eh, btw kamu panitia juga ya?”
“Iya, bagian konsumsi.
Soalnya kalau bagian publikasi, takut gak sempat ngurus.”
Percakapan singkat itu
mungkin biasa aja buat orang lain, tapi bagi mereka berdua, rasanya seperti
kejadian besar. Setelah itu, Firman pulang dengan senyum yang nggak hilang sampai malam.
Hari acara pun tiba. Firman tampil tenang
membawakan seminar, sementara Nadia sibuk memastikan air mineral dan snack
cukup. Di tengah kesibukan, pandangan mereka sempat bertemu. Sekilas saja, tapi
cukup bikin keduanya saling menyadari sesuatu yang tak pernah terucap.
Setelah acara selesai,
Nadia menghampiri Firman yang sedang beres-beres mikrofon.
“Keren banget, Kak! Suaranya tenang, enak
didengar,” katanya tulus.
“Wah, makasih! Padahal deg-degan banget
tadi,” balas Firman sambil tertawa kecil.
Mereka berdua sama-sama
canggung, tapi obrolan itu jadi awal hubungan yang lebih akrab.
Beberapa Minggu kemudian,
mereka mulai sering berpapasan di kantin, atau saling sapa di depan
perpustakaan. Kadang Firman pura-pura lagi baca di taman, padahal cuma nunggu
Nadia lewat. Kadang Nadia sengaja datang ke perpustakaan sore, waktu Firman
biasanya ada di sana.
Aisyah sering menggoda,
“Kalau suka, ngomong aja, Nad. Siapa tahu dia juga ngerasa sama.”
Nadia hanya tersenyum, “Belum saatnya, Syah. Aku
mau fokus dulu sama kuliah.”
Suatu malam, Firman dapat
pesan dari nomor tak dikenal.
“Assalamualaikum, Kak Firman.
Ini Nadia. Mau ngucapin makasih udah bantu acara kemarin. Semoga sukses selalu
ya.”
Firman kaget, tapi senang
bukan main. Ia membaca pesan itu berulang kali sebelum menjawab,
“Waalaikumsalam. Sama-sama,
Nadia. Semoga kamu juga lancar kuliahnya.”
Sejak malam itu, mereka
jadi lebih sering saling tukar kabar lewat chat; ringan saja, seperti bahas
tugas, acara kampus, atau sekadar kirim foto kopi buku. Tapi di balik
percakapan itu, ada perasaan yang tumbuh perlahan, tanpa perlu diucapkan.
Waktu berlalu cepat.
Semester akhir pun tiba. Firman mulai sibuk skripsi, sementara Nadia sibuk
magang di lembaga pendidikan Islam. Meski jarang bertemu, komunikasi mereka
tetap berjalan, walau singkat. Hingga suatu sore, di pelataran masjid kampus, Firman
memberanikan diri bicara.
“Nadia,” katanya pelan, “Aku nggak tahu ini waktu
yang tepat atau nggak. Tapi aku cuma mau bilang...selama ini aku kagum sama
kamu. Aku nggak mau terburu-buru, tapi kalau Allah izinkan, aku pengen serius
suatu saat nanti.”
Nadia terdiam, menunduk
lama sebelum menjawab, “Aku juga... ngerasa hal yang sama, Kak. Tapi...yuk,
kita jaga dulu. Fokus dulu sama langkah kita masing-masing.”
Firman tersenyum. “Iya, aku
setuju.”
Mereka berdua berjalan
keluar dari masjid sore itu, diiringi cahaya matahari yang perlahan tenggelam.
Tak ada janji manis, tak ada kata cinta. Hanya dua hati yang saling paham,
bahwa cinta dalam diam kadang lebih tulus daripada yang banyak bicara.
Editor: Marta Ulin