Sebelum Kata Menemukan Suara

0

 

Sumber Gambar: freepik.com/photoangel

Hari itu, langit Surabaya agak mendung. Di halaman kampus UIN, mahasiswa berlalu-lalang membawa buku, sebagian sibuk mencari tempat teduh. Firman, mahasiswa semester lima jurusan komunikasi, duduk di bangku taman dekat fakultas sambil menatap layar laptopnya. Sebenarnya ia sudah selesai mengerjakan tugas, tapi sengaja tetap di sana. Alasannya sederhana, ya dari tempat itu, ia bisa melihat Nadia lewat setiap selesai kuliah.

Firman tahu, yang ia rasakan ini aneh. Mereka bukan teman dekat, bahkan belum pernah ngobrol lebih dari sekadar “assalamualaikum” dan “makasih”. Tapi entah kenapa, tiap kali melihat Nadia tersenyum saat bicara dengan temannya, hatinya terasa hangat.

“Cinta dalam diam,” gumamnya pelan sambil tersenyum miris.

Nadia sendiri nggak sadar kalau ada seseorang yang memperhatikannya sejak lama. Ia dikenal sebagai mahasiswi aktif, rajin ikut organisasi, dan sering bantu dosen dalam kegiatan fakultas. Tapi di balik kesibukannya, Nadia sebenarnya sering memperhatikan Firman juga; meski diam-diam.

“Anak itu pendiam banget ya,” kata Aisyah, sahabat sekamarnya.

Nadia hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. “Iya. Tapi kayaknya dia baik.”

“Waduh, jangan-jangan kamu suka ya?” goda Aisyah sambil terkekeh.

“Enggak lah!” jawab Nadia cepat. Tapi pipinya memerah.

Suatu hari, fakultas mereka mengadakan acara Seminar Dakwah Digital. Firman kebetulan ditunjuk oleh dosen, Bu Hana, jadi MC. Sementara Nadia ditugaskan sebagai panitia konsumsi.

Saat briefing sebelum acara, Firman dan Nadia akhirnya harus bekerja dalam satu tim kecil.

“Assalamualaikum, Kak. Ini daftar konsumsi yang udah fiks, tolong dicek ya,” kata Nadia sambil menyerahkan kertas.

“Waalaikumsalam, makasih. Eh, btw kamu panitia juga ya?”

“Iya, bagian konsumsi. Soalnya kalau bagian publikasi, takut gak sempat ngurus.”

Percakapan singkat itu mungkin biasa aja buat orang lain, tapi bagi mereka berdua, rasanya seperti kejadian besar. Setelah itu, Firman pulang dengan senyum yang nggak hilang sampai malam.

Hari acara pun tiba. Firman tampil tenang membawakan seminar, sementara Nadia sibuk memastikan air mineral dan snack cukup. Di tengah kesibukan, pandangan mereka sempat bertemu. Sekilas saja, tapi cukup bikin keduanya saling menyadari sesuatu yang tak pernah terucap.

Setelah acara selesai, Nadia menghampiri Firman yang sedang beres-beres mikrofon.

“Keren banget, Kak! Suaranya tenang, enak didengar,” katanya tulus.

“Wah, makasih! Padahal deg-degan banget tadi,” balas Firman sambil tertawa kecil.

Mereka berdua sama-sama canggung, tapi obrolan itu jadi awal hubungan yang lebih akrab.

Beberapa Minggu kemudian, mereka mulai sering berpapasan di kantin, atau saling sapa di depan perpustakaan. Kadang Firman pura-pura lagi baca di taman, padahal cuma nunggu Nadia lewat. Kadang Nadia sengaja datang ke perpustakaan sore, waktu Firman biasanya ada di sana.

Aisyah sering menggoda, “Kalau suka, ngomong aja, Nad. Siapa tahu dia juga ngerasa sama.”

Nadia hanya tersenyum, “Belum saatnya, Syah. Aku mau fokus dulu sama kuliah.

Suatu malam, Firman dapat pesan dari nomor tak dikenal.

“Assalamualaikum, Kak Firman. Ini Nadia. Mau ngucapin makasih udah bantu acara kemarin. Semoga sukses selalu ya.”

Firman kaget, tapi senang bukan main. Ia membaca pesan itu berulang kali sebelum menjawab,

“Waalaikumsalam. Sama-sama, Nadia. Semoga kamu juga lancar kuliahnya.”

Sejak malam itu, mereka jadi lebih sering saling tukar kabar lewat chat; ringan saja, seperti bahas tugas, acara kampus, atau sekadar kirim foto kopi buku. Tapi di balik percakapan itu, ada perasaan yang tumbuh perlahan, tanpa perlu diucapkan.

Waktu berlalu cepat. Semester akhir pun tiba. Firman mulai sibuk skripsi, sementara Nadia sibuk magang di lembaga pendidikan Islam. Meski jarang bertemu, komunikasi mereka tetap berjalan, walau singkat. Hingga suatu sore, di pelataran masjid kampus, Firman memberanikan diri bicara.

“Nadia,” katanya pelan, “Aku nggak tahu ini waktu yang tepat atau nggak. Tapi aku cuma mau bilang...selama ini aku kagum sama kamu. Aku nggak mau terburu-buru, tapi kalau Allah izinkan, aku pengen serius suatu saat nanti.”

Nadia terdiam, menunduk lama sebelum menjawab, “Aku juga... ngerasa hal yang sama, Kak. Tapi...yuk, kita jaga dulu. Fokus dulu sama langkah kita masing-masing.”

Firman tersenyum. “Iya, aku setuju.”

Mereka berdua berjalan keluar dari masjid sore itu, diiringi cahaya matahari yang perlahan tenggelam. Tak ada janji manis, tak ada kata cinta. Hanya dua hati yang saling paham, bahwa cinta dalam diam kadang lebih tulus daripada yang banyak bicara.

Penulis: Elis Nur Diyanah Manzil

Editor: Marta Ulin

Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !