Menilik Jejak Perjuangan Sang Pengembara Revolusi Tan Malaka

0

 

Sumber Gambar: pinterest.com

Tan Malaka lahir pada tanggal 2 Juni 1897 di Suliki, Sumatera Barat. Ia tumbuh dilingkungan yang kaya akan agama dan budaya, hal ini membentuk kepekaan terhadap ketidakadilan sosial dan keinginan untuk perubahan. Kendati namanya jarang tersorot, perjuangan Tan Malaka cukup besar dalam pergerakan Indonesia menjadi negara republik dengan asas demokrasi.

Titik balik krusial dalam pembentukan karakternya terjadi mulai tahun 1913, saat ia menempuh pendidikan di Kweekschool Harleem, Belanda. Tan tak hanya diasah dalam ilmu pendidikan, tetapi juga terpapar langsung dengan gejolak pemikiran Eropa pasca-Perang Dunia I. Ide-ide sosialisme, komunisme, dan nasionalisme di benua biru memperkenalkan dia pada analisis tokoh terkenal Karl Marx tentang kapitalisme dan imperialisme. Di sinilah ia mulai menyadari bahwa penindasan di tanah airnya adalah bagian dari sistem penindasan global.

Tahun 1921 setelah menyelesaikan pendidikannya di Belanda, Tan kembali ke Indonesia untuk menjadi guru bagi anak-anak kaum buruh perkebunan di Sumatera. Tan mulai terlibat dalam kehidupan politik karena hubungannya dengan Sarekat Islam (SI), sekaligus Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang kelak menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI), menandai terjunnya secara aktif ke medan perjuangan.

Tan Malaka tak hanya menjadi orator ulung yang mampu menggerakkan massa, tetapi juga seorang organisator yang handal, terlibat dalam pemogokan buruh dan agitasi politik yang mengguncang otoritas kolonial. Pemerintah Hindia Belanda dengan cepat melihatnya sebagai ancaman, dan tak lama kemudian ia diasingkan.

Tan Malaka diasingkan pada tahun 1922, momen ini dimanfaatkannya untuk mengembara diberbagai belahan dunia. Dari Belanda, ia bergerak ke Moskow, kemudian ke Tiongkok, Filipina, Singapura, dan Hong Kong. Selama dua dekade lebih, ia hidup dalam pengasingan, menggunakan berbagai nama samaran seperti Elias Fuentes, Hussein, dan Ong Song Lee, melarikan diri dari kejaran intelijen kolonial dan musuh politik.

Masa pelarian ini justru menjadi periode paling produktif dalam pengembangan pemikirannya. Di panggung internasional, Tan Malaka bukan hanya seorang pelarian, melainkan juga perwakilan penting dari Asia di Komintern (Komunis Internasional). Ia berpartisipasi dalam kongres-kongres penting di Moskow, menyerukan strategi revolusi yang berbeda untuk Asia dengan dominasi pergerakan massa rakyat dan nasionalisme anti-kolonial. Pemikiran visionernya tentang "Gerakan Massa" menekankan pentingnya mobilisasi seluruh lapisan masyarakat dalam perjuangan kemerdekaan.

Puncak pemikiran Tan Malaka terefleksi dalam karyanya yang monumental, Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), ia tulis di tengah pelarian. Madilog adalah responsnya terhadap dogmatisme Marxisme kala itu, mencoba memadukan pemikiran materialisme historis, dialektika, dan logika agar relevan dengan konteks Indonesia dan Asia. Ini adalah bukti bahwa Tan Malaka bukan sekadar pengikut ideologi, melainkan seorang pemikir orisinal yang berani mengkritik bahkan kelompoknya sendiri.

Baginya, kemerdekaan adalah mutlak, dan idenya terus merajut ide tentang "Republik Indonesia" jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Ketika Perang Dunia II pecah dan Jepang menduduki Indonesia, Tan Malaka melihatnya sebagai peluang emas. Ia kembali ke tanah air secara diam-diam pada tahun 1942, setelah puluhan tahun mengembara.

Di tengah hiruk pikuk revolusi yang bergolak, ia bergerak di bawah tanah mengumpulkan dan mengorganisir kelompok-kelompok pemuda revolusioner yang militan. Ia meyakini bahwa kemerdekaan harus direbut sendiri oleh rakyat, bukan diberikan sebagai ha Puncak peran Tan Malaka dalam revolusi terjadi ketika ia membentuk Persatuan Perjuangan (PP) pada awal 1946. Organisasi ini menuntut kemerdekaan “100% tanpa kompromi” dan menolak segala bentuk perundingan dengan Belanda, berseberangan dengan kebijakan diplomasi Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta.

Ketegangan ideologis itu memuncak dalam Peristiwa 3 Juli 1946, ketika Tan Malaka dan rekan-rekannya ditangkap karena dituduh terlibat dalam upaya kudeta terhadap pemerintahan Sjahrir. Dari balik penjara, ia terus menulis dan merumuskan strategi perjuangan nasional.

Setelah bebas pada 1948, di tengah Agresi Militer Belanda II, Tan Malaka mendirikan Partai Murba untuk melanjutkan gagasan revolusionernya. Ia mengecam Perjanjian Renville yang dianggapnya mengkhianati cita-cita kemerdekaan penuh.

Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka ditangkap dan dieksekusi tanpa pengadilan jelas oleh pasukan TNI di Desa Selopanggung, Kediri. Keberadaan makamnya sempat menjadi misteri hingga akhirnya diyakini ditemukan pada 2007. Sebelumnya, pada 1963, Presiden Soekarno menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya.diah atau melalui negosiasi.

Penulis: Indah Dian Kusumawardani

Editor: Kekeh Dwita 

Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !