Pulau Bali kembali diterjang banjir bandang setelah hujan deras mengguyur selama beberapa hari terakhir. Sejumlah wilayah terdampak mengalami kerusakan infrastruktur, rumah warga terendam, hingga menelan korban jiwa. Bencana ini menambah daftar panjang masalah hidrometeorologi yang semakin sering terjadi di Indonesia.
Fenomena banjir di Bali tak bisa
dilepaskan dari kondisi lingkungan yang kian tertekan oleh pembangunan. Lahan
resapan air banyak beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman dan pariwisata,
sementara aliran sungai dan drainase tidak mampu menampung debit air hujan.
Akibatnya, air mencari jalannya sendiri, meluap, dan merendam kawasan padat
penduduk.
Ironisnya, pulau yang dipuja dunia
karena harmoni alam dan budaya kini harus termakan oleh kerakusannya sendiri. Pariwisata dijadikan dewa, sementara alam dikorbankan. Maka, ketika sungai meluap, ia tak
sekadar membawa lumpur, tetapi juga membawa bencana dari tanah yang kehilangan daya serap dan dari hutan yang ditebang.
Kepala BPBD Bali menyampaikan bahwa pihakanya masih melakukan pendataan
kerugian material dan korban terdampak. Ia menekankan bahwa fokus utama saat
ini adalah evakuasi warga serta distribusi bantuan darurat. Namun kedepannya,
upaya mitigasi harus diperkuat agar bencana serupa tidak terus berulang. Pernyataan
ini sejalan dengan kebutuhan mendesak Bali untuk tidak hanya menanggulangi
dampak, tetapi juga mengatasi akar masalah bencana.
Sementara itu, seorang pengamat
lingkungan dari Universitas Udayana menilai bahwa jika tata ruang tidak segera
ditata ulang, banjir maupun longsor bisa menjadi ancaman tahunan bagi Bali.
Pandangan ini mempertegas bahwa pembangunan pariwisata yang kerap mengabaikan
analisis dampak lingkungan hanya akan menambah kerentanan. Ironisnya, sektor
yang menjadi tulang punggung ekonomi Bali justru bisa menjadi salah satu
penyebab utama rapuhnya ekosistem pulau ini.
Pemerintah daerah bersama masyarakat
kini dihadapkan pada tantangan besar: memperbaiki tata kelola lingkungan.
Rehabilitasi hutan, normalisasi sungai, serta pengendalian pembangunan harus
segera dilakukan agar banjir tidak terus berulang. Banjir Bali menjadi pengingat bahwa alam
memiliki caranya sendiri untuk menagih haknya ketika manusia lupa menjaga keseimbangan.
Kita selalu menyebut ini sebagai
“bencana alam,” padahal alam hanya sedang menuntut balik.
Yang sesungguhnya bencana adalah manusia yang percaya bisa mengatur air tanpa
memberi jalan bagi air itu sendiri.
Di tengah tangis keluarga yang
kehilangan rumah, di antara tubuh-tubuh yang terbawa arus, pemerintah hanya
sibuk menggelar konferensi pers dan janji pemulihan. Pertanyaannya: sampai
kapan kita hanya menambal luka tanpa menutup sumber yang melukai?
Banjir Bali September ini seharusnya
bukan hanya dipandang sebagai peritiwa buruk, melainkan sebagai peringatan
keras. Jika ruang hidup terus dikelola dengan logika uang, jangan salahkan alam
ketika ia menuntut dengan caranya sendiri. Sebab air-sebagaimana
rakyat yang terpinggirkan-bisa diam dalam waktu lama tetapi ketika ia bergerak, semua yang
sombong akan dihanyutkan.
Penulis: Avril Salma Jelita & Iwang Harianto
Editor: Alfil Laili