Oleh Aura Rachmah
Sumber Gambar: Pinterest |
Di
kursi plastik berwarna kuning yang berada di sudut Indomaret, aku duduk sambil menatap sebotol
kopi instan yang kubeli secara acak. Orang-orang berlalu-lalang, keluar masuk
toko atau sekadar berteduh dari hujan. Waktu berjalan terasa lamban,
seolah-olah aku terbuai dalam lamunan yang tanpa ujung.
Aku
menunduk, memandang
hujan yang semakin deras. Angin membawa hawa dingin yang menusuk kulit, membuatku
menarik
napas dalam-dalam, mencoba menguatkan diri sendiri. "Apakah aku salah?"
gumamku pelan.
Sekian
pertemuan telah berlalu, tetapi
hatiku masih membeku. Bukan karena aku tak ingin memulai hubungan dengan orang
baru, tapi karena hati ini telah terlalu lama bersemayam dalam kesunyian. Kehadirannya mengusik, membawa rasa asing yang sudah
lama tak kurasakan.
Dinding-dinding
yang kuukir dengan hati-hati berusah ia dorong, tetapi ada sesuatu yang membuatku tak bisa begitu saja
merobohkannya. Bukan karena aku tak mau mencoba,
melainkan
karena aku
takut. Takut jika aku menaruh seluruh perasaanku, lalu hancur untuk kesekian
kalinya. Bagiku, mencintai bukanlah perkara sederhana—ada waktu dan tenaga
yang kuberikan, dan aku tidak ingin semua itu
berakhir sia-sia.
Hujan
mulai mereda. Lamunanku terhenti
ketika seorang
ibu menegurku dengan lembut.
"Mbanya dari tadi melamun, takutnya kenapa-napa," katanya.
Ternyata ia memperhatikanku dari tadi. Aku tersenyum kecil, sedikit
terkejut tapi juga tersentuh. "Nggak apa-apa, Bu. Makasih," jawabku
pelan.
Aku
bangkit,
melangkah
keluar, lalu menaiki
motor tua peninggalan Bapak. Mesin motor berderu
pelan, menyatu dengan sisa rintik yang masih jatuh di atas aspal. Angin dingin
menyentuh wajahku saat roda mulai berputar, membawa serta harapan kecil di
sudut hati bahwa mungkin, suatu hari nanti, aku akan berani mencoba lagi.
Dalam
perjalanan pulang, kata-kata ibu tadi terngiang. Ada sesuatu tentang
kepeduliannya yang sederhana, yang membuatku bertanya-tanya: mungkin aku tidak
benar-benar sendirian.
Mungkin, di luar sana, ada seseorang yang akan berhenti sejenak dan menatapku dengan perhatian yang sama. Dan mungkin, kali ini aku akan berani menatap balik, tanpa rasa takut yang menahan.
Editor: Alfil Laeli