Oleh Muchammad Wafi
![]() |
Sumber Gambar: freepik.com |
Aku berjalan di jalan yang tak pernah kususuri,
dengan langkah yang bukan milikku,
di bawah langit yang entah milik siapa.
Angin berbisik dalam bahasa yang tak kupahami,
namun aku mengangguk, seolah mengerti.
Di sudut kota tanpa nama,
gedung-gedung tumbuh seperti tulang yang patah,
jendela-jendela seperti mata tanpa kelopak,
melihat tapi tak melihat, menunggu tapi tak berharap.
Lampu-lampu jalan berkedip, seperti bernafas pelan,
seperti takut membangunkan sesuatu di bawah tanah.
Aku mencari sesuatu,
atau mungkin aku yang dicari?
Ada suara langkah di belakang,
tapi saat kutoleh, bayanganku sendiri menghilang.
Mungkin aku telah meninggalkan diriku di persimpangan tadi,
di antara malam yang menggeliat dan pagi yang enggan datang.
Di tikungan, ada toko tua dengan pintu yang setengah terbuka,
bau kayu lapuk dan kertas terbakar mengisi udara.
Di dalam, seorang lelaki dengan wajah kabur tersenyum,
menyodorkan sebuah buku yang judulnya pudar.
“Kisahmu ada di sini,” katanya pelan.
“Tapi halaman terakhirnya hilang.”
Aku membuka buku itu,
huruf-hurufnya bergerak seperti serangga kecil,
mencari tempat bersembunyi dalam pikiranku.
Tangan lelaki itu menyentuh pundakku,
dingin seperti besi pagar kuburan.
“Mau kau tulis sendiri akhirnya, atau biarkan tetap hilang?”
Aku menutup buku itu.
Di luar, malam terasa lebih pekat,
jalanan lebih asing,
langkahku lebih ringan.
Mungkin aku tidak pernah ada di sini.
Mungkin aku hanya kata yang lupa dituliskan.