Oleh Muchammad Wafi
Sumber Gambar: freepik.com |
Sinta, sudahkah dirimu melupakanku?
Telah buramkah diriku dalam ingatanmu?
Kita dipertemukan dalam sependek-pendek waktu.
Tak kusangka membekas begitu tajam.
Apa tak kaurasakan ini?
Tak mengertikah dirimu Sinta?
Di perbatasan kota, aku menunggu.
Pada kereta-kereta aku berharap.
Pada jalanan aku berharap.
Pada lamunan aku berharap.
Sinta, mengapa tak kau sudahi main-main ini?
“Aku lelah, ayo pulang,” katamu di atas jembatan
“Pulang ke mana Sinta?” kataku, “Mengapa harus pulang Sinta?”
“Entahlah, angin sudah menuju barat, aku harus kembali,” jawabmu.
Mengapa harus ada berangkat dan kembali Sinta?
Tidak cukupkah dirimu dengan menetap Sinta?
Di sini saja, di atas jembatan bersamaku.
Kita akan berapi-api, menjadi kupu-kupu
dan terbang membentang lautan.
Angin menusuk dadaku.
Burung-burung memekakkan langit.
Matahari masih tergantung di ufuk.
Barangkali beginilah takdir.
Lelah sudah aku.
Di atas jembatan, kita berdiri.
Di atas jembatan, kita bersaksi.
Di atas jembatan, kita berjanji.
Di atas jembatan, kita mati.
Tegak lurus dengan langit.