![]() |
Sumber gambar: X/kartini_museum |
Raden Mas Soesalit Djojoadiningrat merupakan sosok pahlawan yang penuh akan warna dan dinamika. Soesalit lahir di Rembang, Jawa Tengah pada tanggal 13 September 1904. Ayahnya adalah Bupati Rembang yakni Raden Mas Adipati Ario Djojoadiningrat. Sementara itu sang ibu yakni Raden Ayu Kartini menjadi ikon emansipasi wanita yang pernah menggemparkan Belanda karena tulisan tangannya dalam membela perempuan. Akan tetapi, peristiwa tragis terjadi yakni sang ibu meninggalkan Soesalit saat Soesalit baru berusia 4 hari. Meski demikian, semangat juang dan dedikasinya terhadap bangsa tetap mengalir dalam darahnya.
Masa kecil Soesalit diwarnai cobaan berat. Pada usia 8 tahun, Soesalit kehilangan ayah tercinta, meninggalkan luka mendalam yang terus membayangi. Setelah menjadi yatim piatu, tanggung jawab atas pengasuhan dan pendidikan Soesalit beralih kepada kakak tirinya, Abdulkarnaen Djodjoadiningrat.
Pendidikan dan Karir Militer
Soesalit tumbuh sebagai anak yang cerdas dan penuh semangat. Mengikuti jejak ibundanya, Soesalit mengenyam pendidikan di Europe Lagere School (ELS), sekolah elite anak-anak Eropa dan tokoh-tokoh pribumi. Soesalit juga melanjutkan pendidikannya di Hogare Burger School (HBS) Semarang. Setelah HBS, Soesalit juga sempat menempuh pendidikan hukum di Rechthoogeschool (RHS) Batavia selama setahun, hingga menemukan panggilannya dalam dunia militer.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, Soesalit bergabung dengan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Melansir laman Tirto.id dedikasi Soesalit yang luar biasa terhadap Indonesia membuat karir militernya melejit, Soesalit menjadi daidancho – komandan Batalyon setara mayor atau letnan kolonel PETA Banyumas II di Sumpiuh pada 1943-1945. Nasution juga mencatat bahwa Soesalit pernah menjadi panglima Divisi I Diponegoro.
Dilema Militer
Pada September 1948, terjadi peristiwa Madiun yang menjadi bentuk pemberontakan kaum komunis. Kemudian ditemukan sebuah dokumen yang dianggap milik kaum pemberontak, dalam dokumen tersebut Soesalit disebut sebagai “orang yang diharapkan” sehingga muncul tudingan bahwa Soesalit mendukung kaum kiri. Kendati demikian tak pernah ada bukti konkrit perihal keterlibatannya dengan pihak komunis. Setelah dilema itu, Soesalit tak lagi menjabat sebagai panglima militer di Jawa. Namun hal itu sedikitpun tak membuat semangat juangnya pupus.
Warisan Abadi
Soesalit menghembuskan nafas terakhirnya pada 17 Maret 1962 dan dimakamkan di kompleks makam R.A. Kartini di Desa Bulu, Kabupaten Rembang. Meski banyak prestasi dan pangkat yang pernah disandang Soesalit, di akhir hayatnya tak ada satu pun penghargaan diperolehnya. Sitisoemandari mengatakan “sampai akhir hayatnya, Soesalit tetap hidup sederhana dan tak pernah mau mengambil keuntungan dari kenyataan bahwa dirinya merupakan putra tunggal Ibu Kartini, sehingga tatkala dia meninggal, dialah satu dari beberapa jenderal yang meninggal dalam keadaan melarat.”
Tidak banyak yang tau siapa itu Soesalit dan apa kontribusinya terhadap negara. Sosok yang memang tak mau dirinya terekspos dunia. Anaknya, Boedhy Setia Soesalit selalu mengingat pesan penting semasa hidup ayahnya, “Jangan pernah suka menonjolkan diri sebagai keturunan Kartini!”.
Semoga perjuangannya dapat menginpirasi kita semua untuk terus berjuang menegakkan keadilan dan kebenaran.
Penulis: Ahmad Bukhori
Editor: Intan