Melebur Jiwa dan Menuju Muara

0
Oleh: Nabila Intan
Sumber gambar: www.freepik.com

“Menurutmu, sampai kapan kita mengalir, Ta?”
“Sampai kita berada di muara yang sama dan bersama.”
“Inikah yang menuntun jiwamu saat ini?”
“Benar.” sembari menyunggingkan senyum.
 
    Kehidupan manusia layaknya air mengalir menurut arusnya, kadang ke selokan, sungai, pantai, bahkan laut yang luas dan biru. Mengalir ikhlas dan berakhir ke muara yang luas dan megah, itulah air. Namun, bisakah aku seikhlas air, setabah air?
•••
    Kutatap wajahmu yang sudah dipenuhi lelah. Sembari mengakrabkan diri dengan air di sekeliling kita. Kau membasuh wajah hingga kembali bersih, segar, dan manis. Kuamati dirimu, ternyata sejak berpuluh-puluh tahun kita saling mengenal semakin kentara bahwa ketenangan jiwamu berhasil menarikku, tidak heran karena itu kerjaan dari magis perekatmu.

“Kita mau ke mana dan untuk apa? aku bosan hanya melihat warna biru yang sedikit berombak tenang,” tanyaku.

“Jangan bosan ya, kita akan ke tempat di mana jiwaku terbentuk, seperti air.” Sembari menurunkan tangan dan mengayunkannya hingga air bergemerecik sesaat.

    Aku tetap diam, menatap tingkahmu dan mencoba mencerna kata-kata, meskipun sulit. Tiba-tiba aku sadar, bahwa tidak membawa banyak kebutuhan perut. Benar saja, cacing dalam perutku melangsungkan demo besar-besaran, ombak lapar mulai menerjang. Menurutku, ini semua salahmu karena tanpa ada aba-aba dengan kecepatan kilat membawaku ke perahu, tidak peduli cat lukis tumpah dan kanvas bergelimpangan tak tentu arah.

“Hei, aku lapar, apa kau tak sadar sedari tadi kita hanya membawa sebotol air mineral tanpa makanan apa pun, bahkan sepotong roti isi. Sekarang di mana aku bisa mendapat makanan?” tanyaku sedikit kesal.

Menghentikan dayungannya. “Kita akan mendapatkan makanan, di pulau itu.” Mengedarkan pandangan dan menunjuk sebuah pulau.

“Kau yakin bisa mendapat makanan di sana? dan jangan setenang ini, lihat jarak antara perahumu dan pulau itu, jauh!” Kali ini, aku si tukang emosi mendadak mendidih.

      Sudah kuduga kau tetap jadi laki-laki yang irit kata dan ahli mencerna kondisi. Seperti saat kecil, kau hanya pasrah dan tidak melakukan perlawanan saat aku melayangkan pukulan, dasar. Sebab kau begitu mengerti kalau saat itu kita dalam rasa bahagia dan saling melempar tawa. Sayangnya, kala itu aku belum bisa merasakan kejernihan dan ketenangan sorot matamu, sifatmu, dan apa pun darimu.

    Berpuluh menit sudah minggat, kami sampai di pulau pucat dan disambut matahari yang semakin mencuat. Namun apa yang aku dapatkan hanyalah bukit pasir yang gersang, bahkan kurasa bukan pulau tapi gurun. Hanya ada satu pohon kelapa kekar yang meminta panas kepada matahari, sementara beberapa buahnya berlindung di bawah helai-helai daun.

“Kita sudah sampai di tujuan,” ujar Tirta sembari menyambut tanganku dan memapahku turun dari perahu.

“Tirta, di mana ini? kenapa tempat ini gersang?” ujarku sembari mengikat rambut.

“Batari, kamu tahu mengapa pohon ini mampu dan betah hidup sendiri, bahkan dengan kondisi panas?” Alih-alih menjawab, malah bertanya balik.

“Mungkin karena pohon itu nyaman di sini dan kebutuhannya terpenuhi, tapi ya entahlah yang penting ayo kita ambil kelapa di atas pohon itu, tampaknya segar,” ujarku sembari menggandeng tangan Tirta.

“Batari berhenti sebentar, apa kau sudah izin pemiliknya?”

Aku tercengang mendengar pertanyaannya, Aku semakin frustasi. Sebab, tidak ada seorang pun di sana kecuali kami, lantas meminta izin kepada siapa.

“Tirta, mana ada pemilik pohon ini,”-sambil menunjuk sekeliling-
“tidak ada siapa pun kecuali kita.” Kupasang raut muka geram.

“Batari,” ujar Tirta lirih, sembari menatap lekat dan tenang kepadaku.

“Batari, di sinilah jiwaku diuji. Dahulu saat pertama kali aku datang ke sini, banyak hal yang tidak aku sukai. Namun, apa boleh buat, layaknya air, jiwaku terpanggil mengikuti arus hingga sampai di pulau pucat ini dan dipaksa terbiasa menikmati apa pun yang tersedia... Batari setiap sesuatu yang kita lihat, baik pohon, perahu, pulau, bahkan kita pasti berasal dari proses penciptaan, namun apakah penciptanya jauh dari ciptaannya? Lalu, apakah peristiwa yang tercipta bisa secara mandiri terjadi? Kemudian, apakah kita ini sesuatu yang serba bisa?”

“Ah, Tirta, aku masih tidak paham ke mana arah bicaramu dan jawaban dari pertanyaanmu.”

“Batari, kita tak punya kuasa di sini, di dunia ini. Sebagai manusia, tentulah rasa khawatir dan cemas lahir dari peristiwa yang ada. Apalagi jika sudah berusaha, tapi tidak kunjung menuai hasilnya, maka nafsu amarah mudah datang. Namun, lihat air itu bergelombang dan mengalir sesuai arusnya, apakah kau lihat sesuatu yang membuatnya bergerak?”

“Tidak, tidak ada apa-apa di sana, hanya air biru.”

“Tapi, kau bisa lihat kepasrahan air itu, ia menurut dan tak punya kuasa untuk melawan apa yang mendorongnya dan akhirnya menuju muara jua. Begitu pun kita, Batari, kalaupun sudah berusaha, maka berpasrahlah kepada pencipta kita. Sebab, tidak ada yang ‘ada’ selain Dia, tidak ada yang setia kecuali Dia, tidak ada yang kuasa kecuali Dia, dan tidak ada yang lebih dekat jika bukan Dia, Batari. Leburkan jiwamu, mari menuju muara bersama, jadikan satu cinta hanya kepada-Nya.”

       Peleburan jiwa terjadi begitu pelan, Tirta dengan jiwanya yang mengalir, kami menuju muara bersama dan membiarkan cinta-Nya yang bekerja.

Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !