Nirmala

0


Sumber gambar: Google

Tanggal 17 Bulan Agustus Tahun 1945, hari dimana Indonesia berhasil merdeka dari bajingan-bajingan penjajah, rakyat bersorak-sorai semuanya merayakan dengan meriah. Pada saat itu pula, aku bertemu dengannya di pasar, ketika aku dan kelompokku telah kembali dari medan perang. Kami singgah di kota Yogyakarta dan mampir ke pasar untuk membeli perlengkapan makanan buat kami pulang nanti sambil menikmati es dawet, aku melihat seorang perempuan bergigi gingsul, manis senyumannya, dan indah tutur-kata nya. Perempuan itu berhasil mengoyak hati ku, padahal aku adalah seorang pejuang, pejuang tidak boleh mudah terpengaruh. Tapi entah mengapa ketika aku melihatnya, aku serasa terbang di angkasa dan berbunga-bunga.

“He, Abi.”  Salah seorang teman menepuk bahuku.

“Woe, anjing kau!” Jawabku kaget.

“Kau sedang lihat apa? Sampai kau minum dawet itu hingga menetes seperti air liur hahaha.”

“Ah, banyak omong kau! Aku tidak sedang apa-apa, hanya memandangi keindahan ciptaan tuhan.”

“Halah, kau pasti melihat anak pedagang sayur itu kan, jujur saja. Dia memang cantik Bi, dan beruntungnya dia belum punya pacar, apa mau aku kenalkan?”

“He cok, janganlah! Aku hanya memandangnya saja.”

“Hah, alasan saja kau, Bi. Kalau begitu, daripada hanya kau memandangnya saja lebih baik langsung kau ajak kenalan dan juga kencan. Toh, perang sudah usai dan orang-orang londo itu sudah pergi. Kau bisa menikmati masa kencanmu itu, hahahaha.”

“Sehabis kencan, langsung dah kau kawinin hahaha.” Temanku yang satunya ikut menimpali.

Aku membalas dengan mengejek semua temanku. “He! Dari pada kalian menghinaku, lihat diri kalian sendiri, apa kalian sudah punya pujaan hati? Haha.”  

“Ahh bangsat kau, Bi.” Jawab semua temanku.

Ketika sedang asyik mengobrol, tanpa sadar aku tetap memandanginya seolah-olah bola mataku ini memang sengaja diciptakan hanya untuk memandangnya dan duniaku hanya terpaku padanya, hingga candaan temanku saja tak kuhiraukan. Aku memperhatikannya dari ujung kaki, hingga kepala. Parasnya, senyumannya, tingkah laku dan tutur katanya, membuatku terpana seolah aku membeku dan kehilangan kontrol atas diriku. Tiba-tiba entah setan mana yang mana merasukiku hingga memunculkan keberanian dalam diriku, tubuhku bergerak dan mendatanginya.

“Hmm, hai.”  Aku merasa gugup ketika menyapanya untuk yang pertama kalinya.

“Iya, ada apa mas?” Ya ampun! Suaranya bahkan lebih lembut dari jarak dekat.

Segera aku memperkenalkan diriku. “Namaku Abimanyu. Abimanyu Ananta Aksa.”

“Eh?” jawabnya bingung pada awalnya. Namun ia akhirnya ikut memperkenalkan diri. “Saya Nirmala, Arunika Nirmala Sukma.”

“Nirmala… Nama yang bagus.” Pujiku dengan sungguh-sungguh. Nama yang cantik cocok dengan paras yang rupawan.

“Iya, mas.”

“Eh ngomong-ngomong, kamu kerja disini?” Tanyaku berusaha membuat percakapan.

“Iya mas, ini usaha orang tua, saya ikut bantu-bantu saja.”

“Oh!”

“Mas nya kerja apa? Kalau dilihat dari baju dan membawa senjata berarti mas seorang pejuang, ya?” Tanya Nirmala

“Yah, ketahuan padahal saya berusaha untuk terlihat seperti seorang juragan hahaha.”

Dia ikutan tertawa. “Ih, masnya, sudah jelas dari baju dan senjatanya gitu kok.”

“Hehehe, iya. Saya seorang pejuang.”

“Masnya ini baru pulang dari medan perang, ya?”

“Iya, saya habis pulang dari medan perang. Ini lagi mampir ke pasar untuk beli perlengkapan dan makanan agar tidak kelaparan saat pulang.”

“Loh, mas nya bukan orang Jogja?”  Dia nampak sedikit heran.

“Bukan, saya orang Semarang. Kenapa? Saya terlihat seperti orang Jogja ya, memang banyak yang bilang kalau tampang saya manis sih, seperti makanan khas di Jogja.”

Dia menjawab dengan wajah yang mengejek “Idih sok manis.”

“Hahaha.” Aku membalasnya dengan tertawa keras. Dia benar-benar manis sekali.

“Saya pikir mas nya orang Jogja, ternyata bukan toh?”

“Bukan.”

Sore itu, kita mengobrol banyak hal hingga tak terasa waktu sudah mau menjelang maghrib, senja yang tersisa pada hari itu menjadi saksi momen apa yang terjadi diantara kami berdua dan selanjutnya. Suasana tersebut sangat intens dan tak bisa terelakan, aku hanyut dalam suasana dan kurasa dia pun merasakan hal yang sama denganku. Pada akhirnya, kita saling berpandang satu sama lain, dua detak jantung melebur menjadi satu. Kami saling menelan ludah untuk mengharapkan sesuatu terjadi layaknya pasangan baru yang sedang kasmaran. 

Tiba-tiba, sebuah tarikan kimia di badan kami secara otomatis menuntun kami untuk saling mendekat. Tak peduli berapa ratus orang yang ada di pasar, tak peduli siapa yang sedang berlalu-lalang. Yang jelas, cahaya senja itu mampu menghipnotis seluruh kendaliku dan aku telah meninggalkan akal sehatku untuk sementara waktu. Kami saling berbagi rasa di tengah keramaian pasar, kecupanku akhirnya tiba di bibirnya yang semanis madu. Langit jingga terlihat ribuan kali lebih indah dari yang seharusnya, burung-burung terbang pulang di atas kami seolah-olah mereka meneriaki kami dengan kepakan sayapnya yang menjadi melodi. 

Semuanya benar-benar serba cepat dan di luar perhitungan. Kami benar-benar canggung setelah itu. Pipi merona tersipu malu dan mulut tak tahu harus berkata apa. Yang ada dipikiranku waktu itu adalah senang dan juga bingung, bagaimana bisa aku mencium seorang perempuan yang baru kukenal? Tapi kenyataanya ketika kulihat wajahnya dia juga ikut merasa senang, mungkin pertama kalinya ia dicium oleh laki-laki asing sepertiku.

Sudah lama kami saling bertatap mata dan melamun, tanpa sadar ada orang yang mendekat. Ia berbadan setengah kekar, kumis melengkung, cincin akik warna-warni, sabuk kulit dan rambut klimis yang tidak cocok dengan tampang wajahnya. Ia menghampiri kami dan tiba-tiba mendekat ke Nirmala, aku tahu sejak orang itu hampir mendekati kami, Nirmala sudah sadar akan kedatangan orang itu dan ia berusaha mengajakku untuk menghindari orang itu.

“Halo sayangku, cintaku, dan kasihku Nirmala. Apa kabar? Sudah lama kali kita tidak bertemu. Kau tambah cantik saja, pujaan hatiku.” Ujarnya dengan nada menggoda

“Apa, sih!”. Jawab Nirmala dengan acuh.

“Janganlah begitu cantikku, kita ini sudah dijodohkan oleh orang tua kita masing-masing.” Ujar lelaki itu

“Jika bukan karena orang tuaku yang menginginkan anaknya menikah dengan orang yang berada dan uang mu yang banyak. Aku tidak akan sudi menikah denganmu Bang Tigor.” Ucap nirmala

“Loh, kok gitu sih, Nirmala sayangku.”

Aku tahu keadaan itu tidak terkondisikan, Nirmala terlihat tidak nyaman dengan keberadaan lelaki itu. Ia terus memalingkan muka dan mencoba menghindari pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh lelaki itu.

“Hey Mas, tolong pergilah. Kamu membuat Nirmala tidak nyaman.” Aku berusaha mengusir lelaki itu.

“Siapa kamu itu? Kok berani-beraninya kau mengusirku, ha! Kau tidak tau aku siapa?” ujarnya sombong.

“Saya tidak peduli siapa anda dan saya juga tidak ingin tahu siapa anda!” Bentakku sembari mengepalkan tangan, aku siap menghajarnya kalau dia mau melawan. Aku tidak segan menghabisinya demi Nirmala.

“Sudah… Sudah… hentikan! kalian bertengkar seperti mau perang. Toh perang sudah usai, kemerdekaan sudah ada ditangan kita. Bang Tigor, lebih baik abang pergi dari sini. Aku tidak ingin bertemu Bang Tigor dulu.”

Bang Tigor menjawab. “Loh, kok gitu sayangku Nirmala, aku kan hanya ingin bertemu denganmu. Masa kau tega mengusirku hanya karena pejuang bangsat ini?” Dia memperhatikan penampilanku dari atas sampai bawah, lalu wajahnya berubah meremehkan.

“Pokoknya, abang pergi dari sini!” Kali ini nirmala benar-benar serius mengusirnya.

“Baik, kalau itu yang diinginkan oleh pujaan hati ku, aku menerimanya. Hei kau pejuang bajingan, awas aja kalau ketemu dengan ku lagi.” Dia menatapku dengan tajam lalu berjalan pergi meninggalkan kami.

“Maaf ya.” Ucap Nirmala

“Itu siapa tadi? Kok gaya dan bicaranya seperti orang sok saja.” Ucapku jengkel

Nirmana menjelaskan, “itu tadi anak juragan beras yang punya pabrik besar. Waktu pemerintahan masih dipegang oleh Belanda, Ayahnya tukang lobi para pejabat Belanda di Jogja. Jadi itulah mengapa dia juga sombong, ia sangat terkenal dan kaya raya disini sebab ayahnya mendapat dana sokongan dari pemerintah Belanda.”

“Tapi Belanda kan sudah pergi, ini kita sudah merdeka. Tak perlu lagi kita diatur oleh para bajingan-bajingan londo itu.” Jawabku.

“Iya, meskipun begitu, ia tetap dapat bantuan dari para pejabat negeri yang korup. Karena banyak dari pejabat itu yang tidak suka Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan, karena jika kemerdekaan dibentangkan. Maka secara kemungkinan, jabatan mereka akan tersingkirkan karena dulunya mereka sering bekerja sama dengan pemerintah belanda. Sebab banyak dari mereka yang rasa nasionalismenya kurang.” Ujarnya

Ternyata aku baru tahu, banyak dari mereka yang tidak suka tentang berita kemerdekaan Indonesia. Mereka ternyata berani menjual kesetiaan pada negara hanya untuk uang semata. Memang di manapun pasti ada pertempuran, entah pertempuran berupa fisik maupun non-fisik, juga diluar sana banyak yang bermuka dua.

“Terus bagaimana dengan mu yang dijodohkan dengan dia?” Tanyaku penasaran.

“Itu dua tahun yang lalu tepatnya mei 1943 akibat perang, lahan perkebunan kami hancur lebur dan hasil penjualan kami di pasar tidak banyak. Dan pada waktu itu kami juga tidak sanggup untuk membayar pajak perkebunan kami kepada pemerintah belanda, akhirnya bapak pasrah dan sudah putus asa. Ia meminjam uang dengan jumlah yang besar, dan sebagai kontrak peminjaman, jika kami tidak bisa membayar lunas semuanya dalam jangka waktu 2 tahun. Maka mau tidak mau aku harus dinikahkan dengan anaknya yaitu bang tigor sebagai bentuk pelunasan.” Ucapnya.

“Lalu, sekarang apa sudah lunas?” Tanyaku.

“Lunas sih, tetapi…,” jawabnya ragu.

“Tetapi apa?” Tanyaku penasaran.

“Tetapi meskipun sudah lunas, ayahnya Bang Tigor tetap meminta agar aku menikah dengan Bang Tigor, karena permintaan anaknya. Dan pernikahan itu sebentar lagi akan dilaksanakan tepatnya 26 Agustus 1945.”

Aku serentak terdiam kaget, bagaimana bisa orang yang aku temui dan aku sudah cinta. Tiba-tiba ia sebentar lagi akan menikah dan ia dinikahi secara paksa oleh anak juragan brengsek itu? lama aku memikirkan hal tersebut sampai tak terasa adzan isya’ berkumandang.

“Eh Abi, aku pulang dulu ya. Takut dicariin sama bapak dan ibu sama mau nyiapan dagangan buat besok.” Ucap Nirmala.

“Baik Nirmala, sampai jumpa.”

Pertemuan itu ditutup dengan senyuman, dan di pertemuan itu pula kami sudah mulai merasakan kecocokan satu sama lain serta ciuman sore itu menjadi sebuah saksi dan tidak akan pernah kami lupakan. Aku kembali bersama teman-teman ku, kami akhirnya singgah di masjid sekitar dan meminta izin kepada marbot untuk bermalam disana sebentar. Selama malam panjang ini menemani, pikiran ku tentang Nirmala, pernikahannya, dan cinta bergejolak yang selalu menghantui kepalaku. Aku merasa sangat cemburu dan hampa ketika tau bahwa dia 7 hari lagi akan mengadakan pernikahan, aku berpikir bagaimana cara agar nirmala tidak terjebak pada perjodohan brengsek itu.

Dua hari setelah pertemuan itu, aku kembali ke pasar untuk kembali menemui Nirmala, ketika hampir mendekat ke lapak dagangnya,aku melihat nirmala sudah dengan Bang Tigor, lelaki bangsat itu berduaan dengan Nirmala dan ia mengajak Nirmala untuk masuk ke mobil mewahnya dan yang membuat ku emosi adalah Bang Tigor sengaja melakukannya karena ia melihat ku dan sengaja ingin membuatku cemburu, dengan senyum sinisnya ia melaju dengan mobilnya serta membawa Nirmal  bersamanya. Tanpa kusadari Nirmala juga melihatku dengan wajah pasrah, aku tahu raut wajahnya ia seperti terpaksa, ia ingin menangis tapi tidak ada yang mendengar dan aku menyadari apa yang dirasakan oleh Nirmala tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.

“Lelaki brengsek itu, benar-benar harus ku hajar. Besok selasa malam, aku harus bertemu dengan Nirmala.”

 

***

Malam yang kunantikan akhirnya tiba juga, selasa malam itu aku nekat ke rumah Nirmala untuk berbicara. Aku mendapatkan alamatnya dari temanku, ketika sampai di sana dia sedang berada di teras mengobrol dengan bapaknya. Ia menyadari aku berada di depan rumahnya, aku diam-diam memberi kode untuk keluar.

“Kok kamu ke sini? Kamu tau darimana rumahku di sini?” Tanyanya kebingungan kenapa kau bisa tau rumahnya.

“Haharahasia, pokoknya ayo ikut aku,” Ucapku.

“Kemana?”

“Sudahlah…” Aku menggenggam tangannya dan dia menurut untuk mengikutiku.

Malam itu kita berjalan mengelilingi indahnya kota Yogyakarta, kita berbincang, bercanda tawa, dan menikmati suasana. Kita menertawakan dan membicarakan apa saja yang ada disekitar, malam itu wajahnya bersinar. Aku terpukau, bibirku bergetar, hatiku berbinar, dan jantungku berdebar, aku tidak menyangka kecantikannya membuatku terlena dan aku tidak harus berkata apa.

“Malam ini kau cantik sekali Nirmala”. Ucapku terpesona.

“Sebelumnya?” Tanyanya menggoda.

“Ya cantik juga, tetapi kali ini kau benar-benar berbeda.”

“Halah gombal.”

“Oh iya, aku mengajakmu keluar untuk membicarakan suatu hal.”

“Hal apa?”

“Ini tentang pernikahan mu dan perasaanku, kau tahu sejak perjumpaan kita. Aku sudah mulai tertarik dan jatuh cinta kepadamu, aku ingin kau ikut denganku ke Semarang. Aku ingin kau tinggalkan anak juragan brengsek itu dan ikut aku. Kita hidup bersama beranak-pinak disana dan membangun keluarga serta rumah yang sederhana yang dibalut dengan cinta.” Ucapku seraya memohon agar nirmala ikut denganku.

“Aku bimbang, aku juga suka padamu Abi. Tetapi pernikahan itu tidak bisa dihindari, semua sudah dipersiapkan dan bagaimana dengan orang tuaku, aku takut mereka yang kena imbasnya.” Ucap nirmala

“Kumohon Nirmala, ikut denganku. Untuk masalah orang tua mu, itu nanti mereka akan kita ajak juga ke Semarang.” Aku berusaha meyakinkan Nirmana.

Nirmala termenung, aku menyadari hal tersebut. Memang tak mudah membuat keputusan yang sulit yang bisa terkena imbas kepada orang sekitar apalagi orangtua. Aku tau jika Nirmala kuajak kabur, maka sudah dipastikan orangtua Nirmala yang akan terkena imbasnya. Ucapanku tidak ditanggapi oleh Nirmala, malam itu kita termenung satu sama lain, kita sama-sama mengharapkan untuk bersama tinggal diatap yang sama. Tetapi kenyataan berbeda, setelah perbincangan sunyi itu kita akhirnya pulang. Kuantar Nirmala ke rumahnya, di sana bapaknya juga melihatku tetapi tidak kusapa, aku langsung saja pergi meninggalkan rumah cukup besar berdesain tradisional itu.

Hari rabu, kamis, dan jum’at telah terlewati tidak ada kabar apapun dari Nirmala, aku sudah putus asa. Aku masih tetap berada di jogja, teman-temanku lainnya sudah pulang dalam perjalanan menuju semarang. Demi menunggu kabar dari Nirmala, aku menolak ajakan temanku untuk pulang sekarang ke semarang dini hari tadi. Aku tetap di Jogja tetap bersama harapan-harapan yang pupus, hari sudah memasuki hari sabtu. Tiba-tiba pada malam harinya, aku mendapat surat dari Nirmala. Aku senang, gembira tapi disisi lain aku mempunyai firasat buruk akan ada hal yang tidak mengenakkan. Aku buka surat pemberian Nirmala tersebut.

Hai Abi, sudah beberapa hari ini kita tidak bertemu. Padahal aku sangat kangen padamu, setiap pagi aku menunggumu di pasar berharap kau datang menghampiriku dan mengajakku berkeliling kota jogja. Aku masih ingat kenangan saat jumpa pertama kita, aku waktu itu juga sudah mulai suka padamu. Meskipun kau adalah pribadi yang sedikit temperamental tapi entah kenapa diriku seperti ingin selalu dekat denganmu. Abi, ada satu hal yang ingin aku sampaikan kepadamu, ini mungkin akan menyakitkanmu.

 Maaf aku tidak bisa ikut denganmu ke semarang, maaf aku tidak bisa menepati janjimu untuk bisa bersama dan membangun rumah tangga di atap yang sama, maaf juga aku lebih condong ke bang tigor. Bukan karena harta atau jabatannya tetapi aku takut jika kaku tidka menuruti keinginannya orang tua ku akan kena imbas dan bisa disiksa oleh ayahnya bang tigor beserta anak buahnya. Abi kita sama-sama saling cinta, tetapi kenyataanya tidak seindah realita.

Maaf abi seandainya hal ini tidak terjadi aku akan bersamamu selamanya disampingmu. Abi jangan lupakan jumpa pertama kita dan ciuman yang kau berikan padaku, itu adalah kenangan ku yang berharga selama hidupku. Terima kasih Abi.

Salam,

Nirmala.

***

Abi terdiam, ia sepertinya sudah tahu hal ini akan terjadi. Ia tidak sanggup menahan deras air matanya, baru kali ini ia benar-benar merasakan sakitnya jatuh cinta. Meskipun ia seorang pejuang, ia tetaplah bisa merasakan sakit. Besoknya tepat pada hari pernikahan nirmala, abi langsung berangkat ke Semarang dan ia tidak datang ke pernikahannya, ia pulang dan ia lupakan semua kenangan di Jogja. Sebelum pulang ia menitipkan surat kepada salah satu teman di pernikahan Nirmala, untuk memberikan surat tersebut kepada Nirmala.

Kepada Arunika Nirmala Sukma

 Terima kasih telah mengajari ku tentang jogja, baru kusadari ternyata benar yang selama ini kupikir jogja sangat manis ternyata juga menyimpan kesedihan di dalamnya.

 Aku menyadari apa yang menimpa dirimu, maaf telah memaksamu untuk ikut dengan ku. Nirmala kau tahu perjumpaan pertama kita itu adalah perjumpaan ku yang paling berharga, karena selama aku hidup tidak ada wanita yang seperti dirimu.

 Aku sangat bersyukur sudah bertemu denganmu, dan kali ini aku akan melupakan dan meninggalkan kenangan kita di Jogja. Aku akan kembali ke Semarang, oh ya maaf aku tidak ke pernikahanmu. Aku harap semua berjalan dengan lancar dan kau mendapatkan kebahagiaan dalam hidupmu,

 Terima Kasih Arunika Nirmala Sukma.

Salam,

Abi.

Nirmala tidak kuasa menahan sedihnya, dia tidak rela melepaskan orang yang dicintainya pergi meninggalkannya. Semua orang berdatangan mendekat ke Nirmala, nirmala jatuh pingsan di dalam pikirannya ia hanya memikirkan Abimanyu Ananta Aksa.

Dua Bulan setelahnya tepat pada tanggal 15-19 OKtober 1945 terjadi pertempuran dahsyat di kota Semarang. Pertempuran itu dikenal dengan Pertempuran Lima Hari di Semarang.

TAMAT…

***

Penulis: Hanif Rahmansyah

Editor: Istantya Ningrum



Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !