Sepatu Kaca

0

Oleh: Zidan As'ad

Sumber Gambar: freepik.com/prostooleh

Musik klasik yang ku dengar kemarin malam kembali teralun. Ditasbihkan seperti detak jam dinding di ujung malam. Melengkapi cerita-cerita usang warisan negeri ini.

Konon, negeri ini tumbuh di atas panggung opera. Para penarinya memakai topeng dengan senyum kaku yang tak henti diulum. Di tengah panggung bundar, mereka menari, di kelilingi oleh kursi-kursi penonton yang tak pernah kosong, juga tak pernah bersuara.

Malam itu para penonton yang tak kebagian kursi mulai berteriak di luar gedung opera. Mereka sadar, suara yang mereka dengar setiap hari adalah nada-nada sumbang. Tak seperti saat pertama kali pertunjukan itu digelar dengan lantunan mewah yang menenangkan hari-hari bising mereka. Gedung itu dibangun bersama, tapi tak semuanya bisa masuk ke dalalmnya.

Spanduk lusuh, barang-barang bekas, dan cuitan hati silih berganti dilemparkan. Doa dan harapan juga berkeliaran di atas mendung hitam, berharap langit menurunkan hujan. Namun, langit justru menggema, memutar ulang sonata yang sama.

Di tengah kerumunan, pemusik tua justru berteriak, "WOYY! SEBENARNYA APA YANG KALIAN INGINKAN!?"

Bersamaan dengan melodi yang mati, kerumunan menjawab, "TURUNLAH, PAK TUA! AJALMU SUDAH DEKAT, BERIKAN KAMI MUSIK YANG JUJUR!!!"

"Ha Ha Ha Ha!!" Pak Tua Keladi tak mampu mengunci mulutnya, tawanya pecah, dan air liurnya kemana-mana.

"Kalian terlalu miskin untuk meminta hal yang tak mampu kalian beli, ha ha ha ha! Instrumen kami telah diberi mahar, nadanya sudah disepakati oleh konduktor, ha ha ha ha!" Lanjut Pak Tua Keladi yang akhirnya berhenti tertawa karena tersedak.

Konduktor di negeri itu lebih mulia daripada siapa pun. Ia tak memainkan gitar ataupun biola, tapi senar-senarnya tak kasatmata, bahkan suaranya lebih nyaring meski tidak dipetik. Setiap ketukan tongkatnya adalah titah, lirikan dan tatapannya adalah perintah. Di bawah panggung, para penari tak bisa berhenti berputar, bahkan ketika sepatu mereka mulai timbul bercak darah.

Di balik ruang hampa terkurung rapi para pemecah irama. Itulah sebutan bagi mereka yang suka protes dan tak bisa diam begitu saja. Ruang itu berbau kecut dan kedap suara. Mereka disana terus menerus diputarkan rekaman lagu anak-anak. Hingga lupa bahwa api kebenaran dalam jiwa mereka pernah tersulut, lalu terlena, dan benar-benar padam pada akhirnya.

Ujungnya, bocah berupil satu di pipinya meniup seruling bambu yang tak lebih mahal dari sehelai rambut ketiak konduktor. Bunyinya yang sederhana, cukup untuk membuat penonton menoleh dan pada akhirnya mengakhiri massa.

Mungkin pikirku, musik klasik yang selama ini aku dengar bukanlah nada yang tertata. Mungkin itu hanya sebuah jeritan yang diaransemen. Atau mungkin, kita semua terlalu lama menari di antara nada yang tak pernah kita pilih sebelumnya.

Editor: Marta Ulin

Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !