Musik
klasik yang ku
dengar kemarin malam kembali teralun. Ditasbihkan seperti detak jam
dinding di ujung
malam. Melengkapi cerita-cerita usang warisan negeri ini.
Konon,
negeri ini tumbuh di atas panggung opera. Para penarinya memakai topeng dengan
senyum kaku yang
tak henti diulum. Di tengah panggung bundar, mereka menari, di kelilingi oleh kursi-kursi
penonton yang tak
pernah kosong, juga
tak
pernah bersuara.
Malam
itu para penonton yang
tak kebagian kursi mulai berteriak di luar gedung opera. Mereka sadar, suara yang mereka dengar setiap hari
adalah nada-nada sumbang. Tak
seperti saat pertama kali pertunjukan itu digelar dengan lantunan mewah yang menenangkan hari-hari
bising mereka. Gedung itu dibangun bersama, tapi tak semuanya bisa masuk ke
dalalmnya.
Spanduk
lusuh, barang-barang bekas, dan cuitan hati silih berganti dilemparkan. Doa dan
harapan juga berkeliaran di atas mendung hitam, berharap langit menurunkan hujan.
Namun,
langit justru menggema, memutar ulang sonata yang sama.
Di tengah kerumunan, pemusik tua justru berteriak, "WOYY! SEBENARNYA APA YANG KALIAN
INGINKAN!?"
Bersamaan
dengan melodi yang
mati, kerumunan menjawab, "TURUNLAH, PAK TUA! AJALMU SUDAH DEKAT, BERIKAN
KAMI MUSIK YANG JUJUR!!!"
"Ha
Ha Ha Ha!!" Pak Tua Keladi
tak mampu mengunci mulutnya, tawanya pecah, dan air liurnya kemana-mana.
"Kalian
terlalu miskin untuk meminta hal yang tak mampu kalian beli, ha ha ha ha! Instrumen kami telah
diberi mahar, nadanya sudah disepakati oleh konduktor, ha ha ha ha!" Lanjut Pak Tua
Keladi yang akhirnya berhenti tertawa karena tersedak.
Konduktor
di negeri itu lebih mulia daripada siapa pun. Ia tak memainkan gitar ataupun
biola, tapi senar-senarnya
tak kasatmata, bahkan
suaranya lebih nyaring meski tidak dipetik. Setiap ketukan tongkatnya adalah
titah, lirikan dan tatapannya adalah perintah. Di bawah panggung, para penari
tak bisa berhenti berputar, bahkan ketika sepatu mereka mulai timbul bercak darah.
Di
balik ruang hampa terkurung rapi para pemecah irama. Itulah sebutan bagi mereka
yang suka protes dan tak bisa diam begitu saja. Ruang itu berbau kecut dan kedap suara. Mereka disana terus menerus diputarkan
rekaman lagu anak-anak. Hingga
lupa bahwa api kebenaran dalam jiwa mereka pernah tersulut, lalu terlena, dan
benar-benar padam pada akhirnya.
Ujungnya, bocah
berupil satu di pipinya meniup seruling bambu yang tak lebih mahal dari sehelai
rambut ketiak konduktor. Bunyinya yang sederhana, cukup untuk membuat penonton
menoleh dan pada akhirnya mengakhiri massa.
Mungkin pikirku, musik klasik yang selama ini aku dengar bukanlah nada yang tertata. Mungkin itu hanya sebuah jeritan yang diaransemen. Atau mungkin, kita semua terlalu lama menari di antara nada yang tak pernah kita pilih sebelumnya.
Editor: Marta Ulin