Kampus sejatinya adalah ruang aman bagi mahasiswa, tempat berpikir, berdialog, dan merawat suara kritis. Namun, peristiwa yang terjadi di Universitas Islam Bandung (Unisba) pada 1 September 2025 menjadi tamparan keras bagi dunia akademik. Gas air mata yang ditembakkan aparat hingga masuk ke area kampus membuat mahasiswa yang tengah berada di dalam gedung terkena dampaknya. Meski aparat berdalih hanya membubarkan massa di jalan, faktanya gas air mata tetap menyerang ruang akademik. Kejadian itu merupakan sebuah bentuk nyata intimidasi terhadap kebebasan bereskpresi.
Lebih dari sekadar luka fisik dan sesak napas yang dialami mahasiswa, peristiwa ini melukai martabat kampus sebagai benteng demokrasi. Alih-alih melindungi ruang berpikir, tindakan represif ini justru mempersempit kebebasan akademik. Suara mahasiswa yang seharusnya dihargai sebagai kritik konstruktif, diperlakukan layaknya ancaman yang dibungkam dengan kekerasan.
Dalam situasi seperti ini, pers mahasiswa tidak boleh bungkam. Kita punya tanggung jawab moral untuk hadir sebagai narator kebenaran menyuarakan keresahan, melaporkan fakta, sekaligus menyalakan solidaritas. Tugas kita bukan sekadar menulis berita, melainkan memastikan kampus tetap hidup sebagai ruang bebas berpikir dan menyampaikan aspirasi.
Kita harus berani berkata: kampus bukan zona perang, melainkan rumah demokrasi. Selama gas air mata masih bisa menembus pagar kampus, pena kita harus lebih tajam menembus batas kebisuan. Dan selama suara kritis dianggap ancaman, pers mahasiswa harus berdiri di garis depan demi menjaga kebebasan.
Penulis: Evi Kurnia
Editor: Ayu Puspita