Sebagai mahasiswa, kesibukan sering dianggap sebagai identitas yang membanggakan, bahkan kadang jadi “prestasi” tersendiri. Tak jarang, mahasiswa yang selalu terlihat sibuk justru dipandang sebagai sosok yang produktif, keren, dan penuh dedikasi. Namun, benarkah sibuk identik dengan produktif?
Fenomena inilah yang dikenal dengan istilah toxic productivity-sebuah kondisi ketika seseorang merasa harus terus bekerja, belajar, atau beraktivitas tanpa henti demi mengejar standar tertentu, hingga mengorbankan waktu istirahat, kesehatan, bahkan momen santai. Alih-alih membawa kebaikan, pola semacam ini justru perlahan merusak diri.
Di dunia perkuliahan, toxic productivity dapat terlihat dalam berbagai bentuk. Contohnya mahasiswa yang bangga begadang tiap malam demi deadline, aktif mengikuti banyak organisasi tanpa menyisakan ruang untuk diri sendiri, atau merasa bersalah jika sehari saja tidak menghasilkan sesuatu. Akibatnya, tubuh menjadi lelah, kesehatan fisik maupun mental terganggu, prestasi akademik menurun, dan hubungan sosial ikut terdampak. Ironisnya, semua itu sering tertutupi oleh rasa bangga terhadap kesibukan yang dijalani.
Padahal, kehidupan mahasiswa bukan hanya soal sertifikat, menambah portofolio, atau hadir di setiap agenda. Hidup di masa kuliah juga tentang belajar menyeimbangkan, kapan harus melakukan kegiatan serta kapan harus mendengarkan tubuh dan pikiran sendiri untuk beristirahat. Aktivitas seseorang tidak bisa diukur hanya dari seberapa banyak aktivitas yang dijalani.
Menjadi produktif memang penting, tetapi menjaga kesehatan dan hidup dengan kesadaran jauh lebih utama. Apa artinya jadwal yang padat jika pada akhirnya justru membuat kita kehilangan diri sendiri? Maka, penting mulai bertanya: apakah kesibukan ini benar-benar bermakna? Atau sekedar ketakutan terlihat kurang berprestasi dibanding orang lain?
Penulis: Siti Nur Nazilatul Zulfa
Editor: Alfil Laili
