Sumber gambar: Kompas.com
Sejumlah kampus baik swasta maupun negeri telah memberikan teguran keras kepada Presiden Jokowi atas kemunduran demokrasi yang terjadi akhir-akhir ini. Banyak keprihatinan yang disampaikan oleh para akademisi kampus menanggapi tindakan presiden saat ini yang dianggap menunjukkan keberpihakan dan melakukan sikap politik praktis.
Sebuah kritik diutarakan Guru Besar UGM (31/1) bahwa Presiden Jokowi telah melakukan tindakan-tindakan menyimpang ditengah proses pemilu saat ini. Seperti yang disinggung Guru Besar UGM yakni pelanggaran etik di MK, keterlibatan aparat penegak hukum dalam masa demokrasi saat ini, hingga pernyataan Presiden Jokowi tentang keterlibatannya dalam masa kampanye. Akademisi UGM juga meminta dan mendesak Presiden Jokowi untuk kembali ke koridor demokrasi. Setelah UGM menyatakan kritik tersebut, akademisi dan guru besar kampus lainnya juga melayangkan gagasan yang sama kepada Presiden Jokowi, sekaligus memberikan teguran keras untuk kembali ke demokrasi yang sehat dan mengikuti peraturan yang ada.
Mengapa teguran keras ini dilakukan?
Semua bermula dari keputusan MK yang menunjukkan keberpihakan dan disinyalir telah bekerja sama, membentuk politik dinasti dengan memastikan anak presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, agar bisa masuk mengikuti pemilu. Ditambah Ketua MK sendiri merupakan paman dari Gibran, hal ini menimbulkan kecurigaan mengenai pembangunan politik dinasti dan berlanjut dengan sikap presiden selama masa kampanye, yang menunjukkan ketidaknetralan dan keberpihakan kepada salah satu paslon.
Berangkat dari sikap Jokowi di atas, pihak Universitas Islam Indonesia (UII) juga membahas bahwa MK telah melakukan pelanggaran etika yang disampaikan oleh rektor UII, "Indikator utamanya adalah pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden yang didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023.”
Bukan hanya itu sikap Presiden Jokowi dalam memberikan pernyataan bahwa presiden boleh melakukan kampanye saat pemilu dianggap telah menyalahi aturan undang-undang. Disorot sebagai kesalahan karena beliau menyampaikan bahwa presiden boleh melakukan kampanye dan menunjukkan bukti undang-undang. Sementara dalam undang-undang yang dipaparkan hanya berupa potongan, padahal jika dibaca semua isi UU No. 7 Tahun 2017, presiden memang diperbolehkan kampanye tetapi harus mengambil cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara. Oleh karena itu, Presiden Jokowi dianggap telah melakukan pembodohan publik ketika menyampaikan undang-undang secara tidak lengkap.