Oleh: Atik Azzahra Nurfadillah
![]() |
Sumber gambar: Pinterest |
Lorong-lorong itu selalu menghantui setiap langkah kecilnya, ia
masih menunduk dengan tatapan ke bawah. Kebisingan merayap meramaikan otak yang
dirundung rasa kecewa dan kacau. Ia selalu tak peduli dengan siapapun yang
berpapasan dengannya, enggan memedulikan sekitar. Ia pun masih menunduk dan
berusaha mencari ruang kosong untuk menenangkan pikirannya.
Gadis itu masih menatap tajam cermin toilet tanpa menaruh
perhatian penuh, seakan-akan melihat rambut ikal dan tubuhnya yang semakin
kurus. Beberapa gadis lain tengah sibuk berlalu lalang di dalam toilet,
beberapa ada yang membenahi jilbabnya atau menyisir rambut di depan kaca.
Tetapi gadis itu masih saja berdiri di depan cermin dengan tatapan mata yang
masih terpaku dengan dirinya sendiri.
Toilet itu lumayan ramai, namun dengan tempat tidak terlalu sempit
bahkan bisa dikatakan luas untuk toilet kampus, tempat itu masih terasa sepi.
Sebuah tempat yang seharusnya selalu ramai akan suara-suara gadis dengan ocehan
dan keluh kesahnya selama kelas kuliah.
Gadis itu mulai menyadarkan dirinya, ia mulai melirik tas jinjing
yang ia bawa kemudian mengambil handphone di sela-sela buku catatan dan
berbagai alat dandan perempuan. Ia mulai menyalakan handphone namun
hanya sekedar melihat notifikasi kemudian mematikannya kembali.
Ia pun bersiap untuk keluar dari tempat itu kemudian pulang ke
rumah, masih dengan tatapannya tajam ia ke luar melirik jendela samping toilet.
Melihat suasana luar dengan angin masih bertiup cukup kencang, langit agak
mendung, namun datangnya hujan tak dapat menjanjikan. Ia tak tahu pasti
sekarang pukul berapa, seperti siang namun tertutup awan mendung.
Handphone-nya tiba-tiba berdering.
Dengan segera ia menyambar di dalam tas jinjingnya. Meletakkan benda itu di
telinganya. Ia pun mulai berbicara dengan seseorang entah di mana, bercakap dan
bertukar kata. Lantas ia pun berjalan keluar gedung, kemudian duduk di atas jok
motor dengan tenang sambil menyulut rokok, sekali hisap rokok filter berhias
lipstik dengan sengaja dibuang sembarang.
Saya masih di atas jok motor sambil menikmati angin dan langit
siang yang mendung. Menyalakan motor untuk meninggalkan tempat ini. Langit
mendung itu seakan-akan ikut merayakan wajah sendu gadis itu. Sembari
menyalakan motor untuk meninggalkan tempat ini, handphone itu selalu
menjadi pegangan di tangan kirinya sembari sibuk dengan motornya.
Jalanan itu sesekali dilewati mobil, beberapa orang berjalan kaki,
terkadang remaja sekolah dengan motor kebanggaanya meraung melintas meramaikan
jalanan. Menyusuri jalanan ini kembali, namun dengan diri sendiri. Melampirkan
motor untuk berhenti sejenak di cafe favoritnya. Ia memarkir motornya.
“Ahhh. Apa lagi ini Tuhan!!”
***
Ketukan pintu berkali-kali menyadarkan si empu, pertanda ada
seseorang yang berdiri di depan pintu kosnya. Dengan malas ia bangkit dari
tempat tidurnya, tanpa menyalakan lampu kamarnya ia mengintip siapa yang
menggedor pintunya di balik kelambu jendela. Menghela nafas sebentar kemudian
membuka pintu.
“Hai…”
Lelaki itu masih memerhatikan kamar gadis itu dengan seksama di
depan pintu. Kamar yang cukup rapi dengan hiasan tembok berwarna biru dan tiga
poster band The Beatles.
“Masih dengan rokok ungu itu…” kata lelaki itu dengan kekehan
kecil.
Saya masih sibuk dengan pikiran yang berkecamuk, dan tidak
menjawab pertanyaan konyol itu. Dengan santai dia menaruh jaketnya di kursi
belajar dekat pintu duduk tanpa dosa dan masih memperhatikanku.
“Tadi perempuan itu menelponku lagi,” ujar gadis itu dengan
tatapan kosong berdiri di hadapan lelaki itu. “Katanya dia telah menemukan
surga dunia”.
“Terus?” lelaki itu kembali terkekeh mendengar ocehan gadis itu.
Saya masih tidak menanggapinya. Hanya kembali ke kasur untuk
sekedar merebahkan badan.
“Bagaimana sekarang?”
“Aku bukanlah lelaki seperti itu, kau terlalu bermain dengan imajinasimu
sendiri!!”
“Bukankah menyenangkan, bermain-main dengan imajinasi yang
kubuat-buat sendiri sayang?”
Dalam diam kedua manusia itu terdiam dengan pikirannya
masing-masing. Wajah lelaki itu memancarkan raut merah, antara marah atau malu.
Pintu ditutup kembali, menyisakan gadis itu dengan rokok di bibirnya.
***
Malam larut, berteman dengan suara hewan-hewan malam yang
bersahutan. Namun, pikirannya masih berputar-putar mencari ketenangan. Tampak
ia masih bergelut dengan buku catatan biru dan lagu-lagu yang masih berirama
di-handphone.
Di celah jendela kamar kos itu terlihat, lampu jalanan yang
cahayanya membias di udara, dan sorot lampu mobil ataupun motor yang silih
berganti.
“Sepele, malam sudah larut bodoh!” bisiknya dalam hati, Sebelum mematikan lampu kamar dan menyalakan kipas angin di sisi kanan kasurnya. Besok pagi kita kembali seperti biasa, ia tak ingin terlambat kesekian kalinya.
Editor: Nuzurul Rochmah