![]() |
(Dok. LPM Qimah) |
Bertempat di Amphitheater Lt. 9 Kampus Gunung Anyar UINSA, Senat Mahasiswa (SEMA) Fahum kembali menggelar dialog interaktif pada Rabu (04/10). Acara tersebut mengusung topik terkait Pesta Demokrasi 2024 dengan tema Budaya untuk Politik atau Politik untuk Budaya?.
Diskusi tersebut mendatangkan tiga narasumber yang kompeten di bidangnya, Abdul
Quddus Salam yang menjabat sebagai Komisioner BAWASLU JATIM 2022-2023, Ulil
Abror Al Mahmud selaku Komisioner BAWASLU Kabupaten Tuban 2018-2023, serta
Rojil Nugroho Bayu Aji, seorang Budayawan sekaligus Dosen Sejarah UNESA.
Sebagai
pembuka diskusi, Isnanda Osama selaku moderator menyinggung sedikit terkait
latar belakang diambilnya tema tersebut. Budaya dan politik dianggap memiliki
urgensi yang sama besar dalam kehidupan sosial-bermasyarakat. Budaya hadir
sebagai pembentuk identitas dan karakteristik masyarakat, sementara politik
memiliki peran dalam memengaruhi seseorang atau kelompok dalam membuat
kebijakan.
Ulil
Abror Al-Mahmud sebagai pemateri pertama yang juga alumni Fahum UINSA tahun
2011 mengungkapkan antusiasnya berdiskusi langsung dengan para mahasiswa
terkait pentingnya peran politik dan budaya di era sekarang.
“Bertemu
dengan kalian merupakan investasi besar untuk menata politik bangsa. Masa depan
bangsa ini dirancang melalui jalur politik, sementara kebudayaan itu mengandung
pola perilaku masyarakat. Memperbaiki kebudayaan akan menjadi kontrol bagi
politik itu sendiri,” ungkapnya.
Menyuguhkan
salindia yang eye-catching, Rojil
Nugroho memaparkan berbagai faktor yang menjadi masalah utama dalam politik
bangsa ini, termasuk perbedaan sikap berpolitik antar generasi dan paham
radikalisme di kalangan mahasiswa yang dapat memengaruhi hak demokrasinya.
Rojil
Nugroho memaparkan bahwa di Jawa Timur sendiri, indeks demokrasi secara beratur
meningkat setiap tahunnya. Akan tetapi, banyak sekali hantu radikalisme yang
masuk ke kampus-kampus. Sekitar 39% mahasiswa dari sejumlah PTN Jawa Timur pun
akhirnya terpapar radikalisme.
“Potensi
konflik negara kita ini besar, karena negara kita merupakan negara artifisial
yang mudah pecah apabila menyangkut dunia politik,” papar Rojil. Hal tersebut
kemudian juga dikaitkan dengan perbedaan generasi antar pelaku-pelaku politik
yang tentunya memiliki cara pandang dan cara menyikapi masalah yang
berbeda.
Diskusi tersebut menghasilkan pemikiran yang penting bagi kalangan mahasiswa dalam bersikap atau dalam berpolitik. Sebagai masyarakat yang juga berpartisipasi dalam kegiatan pemilu, masyarakat diperbolehkan untuk menunjukkan identitas politik dimana saja selama dapat membatasi diri dan tidak merugikan atau memojokkan pihak manapun.
Abdul
Quddus Salam sebagai pemateri ketiga pun menyinggung bagaimana dinasti
kekuasaan dapat memengaruhi kehidupan sosial-politik masyarakat. “Negara kita
merupakan negara yang dulunya terdiri dari kelompok-kelompok dengan pemimpin.
Budaya kekuasaan itu sejak dahulu diturunkan dengan Basis Wangsa (urusan
keluarga),” ujarnya.
Urusan
politik biasa bercampur dengan tangan-tangan orang dalam yang lebih dulu
berkuasa. Hal ini sudah menjadi rahasia umum melihat kondisi politik Indonesia
masa kini. Abdul kemudian menyampaikan bahwa hal tersebutlah yang kemudian
dapat menjadi landasan masyarakat dalam mengambil sikap paling bijak dalam
berpolitik.
Dialog
interaktif ini berjalan dengan lancar dan dihadiri oleh banyak mahasiswa baru
serta tamu undangan lainnya. Digelarnya diskusi ini, masyarakat tentu juga
mahasiswa dituntut dapat melek isu politik dengan tidak meninggalkan identitas
kebudayaan masing-masing di era yang serba modern ini.
Penulis:
Dinda Artika, Resti Wulandari
Editor:
Nuzurul Rochmah