TRIAS KORUPTIKA

0
Teng teng tengg..

Bunyi lonceng terdengar bertalu-talu. Ku tengok arloji, menunjukkan pukul 07.00 tepat.

Hari ini aku didapuk oleh bik Darsih, bibiku, menjadi guru pengganti di Sekolah Dasar tempat beliau mengajar. Di desa terpinggir yang mungkin tak banyak orang mengetahui, tetapi ada. Sejenak aku termangu menatapi tiap jengkal tempat ini, untuk menempuhnya saja kita membutuhkan tenaga ekstra, menyusuri perbukitan, dan semak gersang. Aku rasa tak akan ada seorangpun yang peracaya bahwa di tempat seperti ini terdapat sebuah Sekolah Dasar. Yah, meski view disini cukup memanjakan mata sebagai kawasan wisata, tetapi sayangnya tidak cukup memadai untuk belajar. Peralatan tulis dn buku serba terbatas, bangku renta termakan usia, bahakan unsur pentingpun tak tersedia ,yakni perpustakaan. Bagaimana dengan murid muridnya? Batinku pesimis.

“Ibu Ayu ,mari saya antarkan ke kelas anda” sapa seorang tukang kebun paruh baya padaku ,ku balas dengan seulassenyuman lalu beranjak mengikuti langkahnya. Beliau ini adalah Pak Mintomenurutku, seharusnya jabatan beliau bukan lagi sebagai seorang tukang kebun, melainkan staff tata usaha! mengingat beliau pulalah yang bertanggung jawab atas segala perlengkapan kantor seperti kertas, kapur tulis dan sebagainya. Ditambah lagi beliau juga bertanggung jawab akan minuman dan makanan kecil untuk beberapa guru disini. Namun kenapa beliau yang berjasa begitu banyak atas kelangsungan hidup sekolah ini justru hanya bergelar tukang kebun? Atau mungkin karena beliau hanya lulusan Sekolah Dasar  makanya tidak layak untuk menjadi seorang PNS dengan gaji yang cukup memadai?. Hmm entahlah ,aku menggeleng kecil ,emosiku mulai tergelitik ketika membahas tentang perdilan di negeri ini ,yang katanya telah relevan.

Tak memakan waktu lama untuk sampai di kelas yang akan menjadi tanggung jawabkuruang kelas berukuran 8x7m ini akan menaungiku. Aku banyak mendengar perihal antusiasme murid disini dari bibiku, kebanyakan dari mereka sering menanyakan sesuatu dari buku atau koran yang dibawa bibi sepekan sekali, menambah wawasan tuturnya tiap kali aku bertanya kenapa mau saja beliau membawa barang berat pada medan seperti ini? “terkadang mereka tidak nampak remeh seperti yang terlihat” imbuh beliau. Kelasku  hanya ditempati  13 orsang siswa di dalammnya, ini adalah realita laskar pelangi karya Andre Hirata yang kutemui dan dekat disekitar kita. Miris. Suatu hari untuk tugas akhirku sebagai mahasiswa, kucoba untuk mengumpulkan semacam opini bertemakan pemerintahan dari mereka sebanyak banyaknya dalam waktu 3 hari. Dan ini juga akan kujadikan nilai tugas mereka nantiya.

Hari dimana aku merevisi tulisan tulisan mereka ,alisku menyatu, tertegun membaca. Bagaimana bisa seorang anak Sekolah Dasar pelosok menulis sedemikian lugas? Kubaca perlahan lembar demi lembar “bagian mana dari pemerintahan ini yang dapat dimengerti oleh otak kecilku ini? aku hanya ingin belajar dan berkarya, megabdi pada negeri ini agar nantinya dapat sedikit membangun negeri kami,membebeskan negeri ini dari cengkeraman trias KORUPTIKA oleh para pemamgku jabatan trias politika”

“Aku pernah mendengar seorang proklamator kenamaan Indonesia berpidato ,bahwa seribu orang tua hanya dapat bermimpi,tetapi satu orang pemuda dapat merubah dunia. Aku sebagai generasi muda ingin merubah sekolahku ,memperbaiki bangku dan pintu ,dan membuat perpustakaan baru”

    Kembali aku tertegun, mungkin benar, seribu kali rapat paripurnapun tak akan cukup untuk merealitaskan impian kecil mereka. Aku hanya berharap mereka yang duduk di bangkubangku elok pemerintahan sudi mendengar celotehan anak bangsa dari ujung negeri ini.  
                                                                          ***

Lestari Rahayu
Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !