Teng teng tengg..
Bunyi lonceng
terdengar bertalu-talu. Ku tengok arloji, menunjukkan
pukul 07.00 tepat.
Hari ini aku didapuk oleh bik Darsih,
bibiku, menjadi guru pengganti di Sekolah Dasar tempat beliau mengajar. Di desa
terpinggir yang mungkin tak banyak orang mengetahui, tetapi ada. Sejenak aku
termangu menatapi tiap jengkal tempat ini, untuk menempuhnya saja kita
membutuhkan tenaga ekstra, menyusuri perbukitan, dan semak gersang. Aku rasa
tak akan ada seorangpun yang peracaya bahwa di tempat seperti ini terdapat
sebuah Sekolah Dasar. Yah, meski view disini cukup memanjakan
mata sebagai kawasan wisata, tetapi sayangnya tidak cukup memadai untuk
belajar. Peralatan tulis dn buku serba terbatas, bangku renta termakan usia, bahakan
unsur pentingpun tak tersedia
,yakni perpustakaan. Bagaimana dengan murid muridnya? Batinku pesimis.
“Ibu Ayu ,mari
saya antarkan ke kelas anda” sapa seorang tukang kebun paruh baya padaku ,ku balas dengan seulassenyuman lalu beranjak mengikuti langkahnya. Beliau ini adalah Pak Minto, menurutku,
seharusnya jabatan beliau bukan lagi sebagai seorang tukang kebun, melainkan staff tata
usaha! mengingat beliau pulalah yang bertanggung jawab atas segala perlengkapan kantor seperti
kertas, kapur tulis dan sebagainya. Ditambah lagi
beliau juga bertanggung jawab akan minuman dan makanan kecil untuk beberapa
guru disini. Namun kenapa beliau yang berjasa begitu banyak atas
kelangsungan hidup sekolah ini justru hanya bergelar tukang kebun? Atau mungkin
karena beliau hanya lulusan Sekolah Dasar makanya tidak layak untuk
menjadi seorang PNS dengan gaji yang cukup memadai?. Hmm entahlah ,aku
menggeleng kecil ,emosiku mulai tergelitik ketika membahas tentang perdilan di
negeri ini ,yang katanya telah relevan.
Tak memakan waktu
lama untuk sampai di kelas yang akan menjadi tanggung jawabku, ruang kelas berukuran 8x7m ini akan menaungiku. Aku banyak mendengar
perihal antusiasme murid disini dari bibiku, kebanyakan dari mereka sering
menanyakan sesuatu dari buku atau koran yang dibawa bibi sepekan sekali, “menambah wawasan” tuturnya tiap kali aku
bertanya kenapa mau saja beliau membawa barang berat pada medan seperti ini? “terkadang mereka tidak nampak remeh seperti yang terlihat” imbuh beliau. Kelasku hanya ditempati 13 orsang siswa di
dalammnya, ini adalah realita laskar pelangi karya Andre Hirata yang kutemui dan dekat disekitar kita. Miris. Suatu hari untuk tugas akhirku
sebagai mahasiswa, kucoba untuk mengumpulkan semacam opini bertemakan
pemerintahan dari mereka sebanyak banyaknya dalam waktu 3 hari. Dan ini juga akan kujadikan nilai tugas mereka nantiya.
Hari dimana aku
merevisi tulisan tulisan mereka ,alisku menyatu, tertegun membaca. Bagaimana
bisa seorang anak Sekolah Dasar pelosok menulis sedemikian lugas? Kubaca perlahan lembar
demi lembar “bagian mana dari pemerintahan ini yang dapat dimengerti oleh otak
kecilku ini? aku hanya ingin belajar dan berkarya, megabdi pada negeri ini agar
nantinya dapat sedikit membangun negeri kami,membebeskan negeri ini dari
cengkeraman trias KORUPTIKA oleh para pemamgku jabatan trias politika”
“Aku pernah mendengar seorang proklamator kenamaan
Indonesia berpidato ,bahwa seribu orang tua hanya dapat
bermimpi,tetapi satu orang pemuda dapat merubah dunia. Aku sebagai generasi
muda ingin merubah sekolahku ,memperbaiki bangku dan pintu
,dan membuat perpustakaan baru”
Kembali aku tertegun, mungkin
benar, seribu kali rapat paripurnapun tak akan cukup untuk
merealitaskan impian kecil mereka. Aku hanya berharap mereka yang duduk di
bangkubangku elok pemerintahan sudi mendengar celotehan anak bangsa dari ujung
negeri ini.
***
Lestari Rahayu