“Karena
untuk membangkang sebagai perempuan sama konyolnya dengan membanggakannya”
(Dikutip dari buku yang entah judul dan penulisnya tiba-tiba tak
bisa saya bawa paksa ke dalam ingatan. Saya lupa total)
Kutipan tersebut yang selalu mendominasi ingatan begitu saya ingin
memberontak atas beberapa hal yang saya anggap tidak bisa saya capai karena
alasan saya perempuan. Sebelumnya perkenalkan, saya termasuk salah satu
perempuan yang Tuhan beri kesempatan untuk dilahirkan di lingkungan pedesaan.
Dengan lingkungan orang-orang agamis yang sangat taat aturan, penganut Islam
tradisional yang kaku dan masih banyak mikir tentang tawaran-tawaran
modernisasi yang sibuk berdatangan. Sehingga sangat wajar jika saya sendiri tak
mampu mengkalkulasi dengan pasti berapa kali dalam sehari saya merutuk diri.
Begini dan begitu serba dibatasi.
Bertahun mimpi-mimpi saya serasa rapi di dalam peti. Alasannya ya
simpel saja, seperti satu kalimat yang jangankan menuliskan, mengingat saja
saya sudah mules. Perut saya seperti dijadikan lapangan berlari para naga yang
menusuk-nusuk bagian sudut-sudut dalam perut. Lalu saya mual. Maka tak ada
baiknya menulis kalimat itu di sini, sebelum tulisan ini saya akhiri.
Saya persis seperti putri Rapunsel yang hanya bisa menikmati
keindahan dunia dengan sebatas pandangan mata, tak sekalipun berkesempatan
menyentuhnya. Saya cuma bisa membaca buku-buku paman lelaki saya yang kuliah di
luar kota. Bagaimana rasanya menjadi mahasiswa baru yang dikerjain habis-habisan
oleh kakak-kakak panitia. Bagaimana hidup jauh dengan orang tua menjadi alasan
satu-satunya rindu hadir setiap waktu dalam kepala dan banyak hal lagi.
Tapi lambat laun, entah darimana kesadaran ini muncul. Saya mulai
merasa tak perlu berlama-lama merutuk orang tua yang memang latar pendidikannya
tak sama. Saya tak perlu ngotot pada dunia untuk menjadikan saya tokoh ternama
di dunia pendidikan dan mejadikan saya wisudawan dari universitas-universitas
ternama. Intinya saya mulai paham bahwa kader Kartini tak melulu mereka para
perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi. Tak selamanya yang melancong ke
berbagai kota bahkan negara untuk menempuh pendidikannya yang selalu Kartini
banggakan. Kita para perempuan Indonesia selalu punya kesempatan yang sama
untuk mengharumkan tanah tercinta, hanya saja porsi dan takarannya yang
berbeda. Biarkan saja mereka pemilik gelar-gelar doktor dan profesor
membuktikan aksinya dengan hal-hal yang memang sesuai di bidangnya. Toh saya
juga merasa mampu dibanggakan Indonesia saat saya berhasil menjadi penggiat
kebersihan lingkungan desa misalnya, atau peduli kehidupan sesama untuk
beberapa wilayah kota. Ini lebih nyata kan? Daripada saya membuang waktu hanya
untuk meratap kenapa saya tak punya gelar mahasiswa.
Saya mungkin tidak bisa diajak jadi pembicara tentang perempuan
yang pesertanya terdiri dari para perempuan manca Negara. Saat saya belepotan
memakan eskrim sewaktu kecil, itu masih jauh lebih baik dibandingkan dengan
kemampuan saya berbahasa Inggris. Saya berpikir bahwa kita harus lebih
realistis memandang hidup. Jangan terlalu dibebani dengan ribuan angan yang
membuat kita tak pernah siap ambil tindakan. Nikmati apa yang pernah ada di
depan mata. Jangan sesekali menyesal kita terlahir sebagai perempuan. Jangan pernah
khawatir karena kita tidak bisa dikenal dunia. Cukup menjadi yang manfaat bagi
sesama. Apa saja, lakukan segala halnya sesuai porsi yang kita punya. Dalam
kondisi dan keadaan apapun, tunjukkan kreasi kita pada Indonesia, ini loh saya!
(meski teriakan kita hanya mampu di dengar cicak di dinding yang jaraknya
hanya beberpaa meter di atas kepala).
*Nur
Faika
Perempuan
Indonesia.