Hei, Indonesia! Ini Loh Saya!

0
“Karena untuk membangkang sebagai perempuan sama konyolnya dengan membanggakannya”
(Dikutip dari buku yang entah judul dan penulisnya tiba-tiba tak bisa saya bawa paksa ke dalam ingatan. Saya lupa total)

Kutipan tersebut yang selalu mendominasi ingatan begitu saya ingin memberontak atas beberapa hal yang saya anggap tidak bisa saya capai karena alasan saya perempuan. Sebelumnya perkenalkan, saya termasuk salah satu perempuan yang Tuhan beri kesempatan untuk dilahirkan di lingkungan pedesaan. Dengan lingkungan orang-orang agamis yang sangat taat aturan, penganut Islam tradisional yang kaku dan masih banyak mikir tentang tawaran-tawaran modernisasi yang sibuk berdatangan. Sehingga sangat wajar jika saya sendiri tak mampu mengkalkulasi dengan pasti berapa kali dalam sehari saya merutuk diri. Begini dan begitu serba dibatasi.
Bertahun mimpi-mimpi saya serasa rapi di dalam peti. Alasannya ya simpel saja, seperti satu kalimat yang jangankan menuliskan, mengingat saja saya sudah mules. Perut saya seperti dijadikan lapangan berlari para naga yang menusuk-nusuk bagian sudut-sudut dalam perut. Lalu saya mual. Maka tak ada baiknya menulis kalimat itu di sini, sebelum tulisan ini saya akhiri.
Saya persis seperti putri Rapunsel yang hanya bisa menikmati keindahan dunia dengan sebatas pandangan mata, tak sekalipun berkesempatan menyentuhnya. Saya cuma bisa membaca buku-buku paman lelaki saya yang kuliah di luar kota. Bagaimana rasanya menjadi mahasiswa baru yang dikerjain habis-habisan oleh kakak-kakak panitia. Bagaimana hidup jauh dengan orang tua menjadi alasan satu-satunya rindu hadir setiap waktu dalam kepala dan banyak hal lagi.
Tapi lambat laun, entah darimana kesadaran ini muncul. Saya mulai merasa tak perlu berlama-lama merutuk orang tua yang memang latar pendidikannya tak sama. Saya tak perlu ngotot pada dunia untuk menjadikan saya tokoh ternama di dunia pendidikan dan mejadikan saya wisudawan dari universitas-universitas ternama. Intinya saya mulai paham bahwa kader Kartini tak melulu mereka para perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi. Tak selamanya yang melancong ke berbagai kota bahkan negara untuk menempuh pendidikannya yang selalu Kartini banggakan. Kita para perempuan Indonesia selalu punya kesempatan yang sama untuk mengharumkan tanah tercinta, hanya saja porsi dan takarannya yang berbeda. Biarkan saja mereka pemilik gelar-gelar doktor dan profesor membuktikan aksinya dengan hal-hal yang memang sesuai di bidangnya. Toh saya juga merasa mampu dibanggakan Indonesia saat saya berhasil menjadi penggiat kebersihan lingkungan desa misalnya, atau peduli kehidupan sesama untuk beberapa wilayah kota. Ini lebih nyata kan? Daripada saya membuang waktu hanya untuk meratap kenapa saya tak punya gelar mahasiswa.
Saya mungkin tidak bisa diajak jadi pembicara tentang perempuan yang pesertanya terdiri dari para perempuan manca Negara. Saat saya belepotan memakan eskrim sewaktu kecil, itu masih jauh lebih baik dibandingkan dengan kemampuan saya berbahasa Inggris. Saya berpikir bahwa kita harus lebih realistis memandang hidup. Jangan terlalu dibebani dengan ribuan angan yang membuat kita tak pernah siap ambil tindakan. Nikmati apa yang pernah ada di depan mata. Jangan sesekali menyesal kita terlahir sebagai perempuan. Jangan pernah khawatir karena kita tidak bisa dikenal dunia. Cukup menjadi yang manfaat bagi sesama. Apa saja, lakukan segala halnya sesuai porsi yang kita punya. Dalam kondisi dan keadaan apapun, tunjukkan kreasi kita pada Indonesia, ini loh saya! (meski teriakan kita hanya mampu di dengar cicak di dinding yang jaraknya hanya beberpaa meter di atas kepala).

*Nur Faika
Perempuan Indonesia.



Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !